Salah
satu parameter kemajuan suatu negara dapat diukur dengan kualitas
pendidikannya. Dan kualitas pendidikan suatu bangsa sesungguhnya lebih
banyak ditentukan oleh kualitas guru yang memberikan pelayanan
pendidikan pada sebuah satuan pendidikan atau yang lebih populer dengan
istilah sekolah. Hal ini
sangat beralasan karena guru adalah orang yang paling sering bersentuhan
lansung dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Artinya
keberhasilan sebuah proses pembelajaran salah satunya sangat ditentukan
oleh kualitas guru dalam mengorkestrasi pembelajaran.
Masalahnya
tidak semua guru di Indonesia mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada peserta
didiknya.
Atas
dasar itu pemerintah berupaya untuk meningkatkan kulitas guru Salah
satunya adalah lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen pada tahun 2005
yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru
melalui program sertifikasi
Program
ini sebenarnya diawali dari sebuah hipotesis bahwa guru yang
profesional dan berkualitas akan terwujud apabila kesejahteraannya
mencukupi. Sebaliknya, jangan harap seorang guru akan profesional jika
kesejahteraannya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.
Sudah hampir enam
tahun program sertifikasi berjalan dan puluhan ribu guru sudah
dinyatakan lulus sertifikasi dan otomatis menerima tunjangan profesi
yang cukup besar perbulannya. Tapi ternyata program tersebut tidak
berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pelayanan pendidikan
guru yang sudah tersertifikasi dalam proses pembelajaran. Mereka tidak
berubah. Mereka tetap mengajar biasa-biasa saja. Bahkan di beberapa
sekolah ada indikasi bahwa progresifitas guru-guru yang sudah mendapat
tunjangan profesi cenderung menurun. Artinya hipotesis bahwa guru yang
profesional dan berkualitas akan terwujud apabila kesejahteraannya
mencukupi perlu dikaji ulang lagi.
Menurut
penulis, ada dua hal yang patut diduga menjadi penyebab tidak
terciptanya korelasi yang positif antara program sertifikasi yang
digulirkan pemerintah dengan peningkatan kualitas guru. Pertama,
kekeliruan pembacaan guru terhadap makna profeonalisme. Banyak guru yang
mengkalim telah menjadi guru profesional ketika mereka sudah memenuhi
persyaratan administratif sertifikasi berupa pembuatan portofolio,
dinyatakan lulus, mendapatkan sertifikat, dan tentu saja mendapat
tunjangan profesi perbulannya. Artinya guru profesioanl dalam pandangan
mereka adalah guru yang sudah sejahtera. Maka ketika kesejahteraan itu
sudah diraih, tidak ada lagi kewajiban bagi mereka untuk meningkatkan
kemampuan mereka sehingga menjadi pribadi yang lebih baik, khususnya
dalam memberikan pelayanan pendidikan terhadap anak didik.
Harus
diakui bahwa iming-iming tunjangan profesi yang akan diberikan kepada
guru yang dinyatakan lulus sertifikasi mempunyai daya tarik tersendiri
bagi para guru. Tidak sedikit guru yang mengikuti sertifikasi bukan
untuk meningkatkan kualitas dalam kapasitas mereka sebagai guru, tapi
mengejar tunjangan profesi. Maka tidak heran kalau akhirnya sertifikasi
hanya melahirkan guru-guru yang bermental pedagang, yaitu guru yang
selalu menggunakan prinsip ekonomi dalam berbagai aktivitas
pembelajaran. Parahnya, yang dijadikan patokannya adalah hak yang mereka
terima. Setelah hak-nya diperoleh, barulah kewajiban mereka akan
dilaksanakan bergantung besarnya hak yang mereka terima. Guru ini pada
awalnya merasa profesional, namun akhirnya akan terjebak dalam
”kesombongan” dalam bekerja. Artinya proses pengajaran yang dilakukan
oleh guru pada akhirnya akan sangat situasional. Ketika menguntungkan
secara finansial, mereka akan bersungguh-sungguh memberikan pengajaran
maksimal. Sebaliknya, ketika tidak ada keuntungan finansial, mereka pun
akan mengajar biasa-biasa saja dan cenderung asal-asalan.
Kedua,
kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kinerja guru pascasertifikasi.
Banyak guru yang sudah disertifikasi berpikir, untuk apa lagi
meningkatkan kompetensi profesi, la wong sertifikat pendidik
profesional pun sudah dikantongi. Oleh karena itu, pengawasan dan
pembinaan kinerja guru pascasertiifkasi perlu ditingkatkan agar
kesejahteraan guru yang meningkat berkorelasi positif dengan peningkatan
kompetensi profesinya.
Terlepas
dari pro kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk
meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, namun usaha itu
perlu kita apresiasi dengan berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan
kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap
anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan pemerintah dan
kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas tidak melakukan perbaikan dari dalam diri mereka sendiri.
Salah
satu cara meningkatkan kompetensi guru keinginan guru untuk terus
belajar setiap waktu. Belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk
kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan
kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Sehingga
keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru
yang mengklaim dirinya profesional karena kesejahteraanya meningkat tapi
tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pemebelajaran
kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar